Bogor – Mahasiswa Program Studi Prodi Strategi Pertahanan Laut (SPL), Peperangan Asimetris (AW), Strategi dan Kampanye Militer (SKM), Diplomasi Pertahanan (DP) Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) melaksanakan Kegiatan Kuliah Kerja Luar Negeri (KKLN) hari ke-5 dipimpin oleh Dekan FSP Unhan RI Mayjen TNI Dr. Deni D.A.R, S.Sos., M.Si (Han) didampingi Wakil Dekan Fakultas Strategi Pertahanan Unhan RI Brigjen TNI Sammy Ferrijana, S.Sos., M.Si melalui daring zoom meeting. Jum’at, (2/07).
Kegiatan KKLN Prodi Strategi Pertahanan Laut (SPL) hari ke-5 menghadirkan narasumber Dosen Universitas Pertahanan Nasional Malaysia (UPNM) Dr. Wong Chooi Yee mengangkat topik “Marine Defense Strategy in SCS: Strategic Solutions” atau “Strategi Pertahanan Laut Malaysia dan ASEAN”, bertindak sebagai moderator Dosen Tetap Prodi SPL Unhan RI Kolonel Laut (P) Dr. Rudy Sutanto, S.IP., M.M., CIQaR.
Sementara KKLN Prodi Peperangan Asimetris (AW) FSP Unhan RI dengan tema “The South China Sea Issue: Current Situation and Future Prediction” menghadirkan narasumber dari UPNM Lecturer Dr. Norhazlina Fairuz Musa Kutty dengan topik “Security threat of Asymmetrical Threat in SCS: Substance and Rhetoric”, selaku moderator Dr. F. G. Cempaka Timur, S.IP., M.Si (Han).
KKLN Prodi Diplomasi Pertahanan (DP) FSP Unhan RI menghadirkan narasumber Dosen Universitas Pertahanan Nasional Malaysia (UPNM) Prof. Ruhanas Harun dengan topik “Defence Diplomacy in the South China Sea: Strategic solutions”, selaku moderator Mayor Jenderal TNI Karmin Suharna S.IP., M.A.
Dr. Norhazlina Fairuz Musa Kutty menjelaskan untuk mengurangi risiko dan memaksimalkan peluang yang timbul dari perilaku kekuatan besar China, Malaysia menerapkan strategi lindung nilai selama pemerintahan Mahathir Mohamad pada masa jabatan kedua sebagai perdana menteri. Dari 2018 hingga 2020, kekuatan menengah Malaysia menerapkan keterlibatan langsung dan elemen penyeimbangan terbatas dan bandwagoning terbatas secara fleksibel namun konsisten. Hal yang terpenting, kebijakan terhadap China tertanam dalam hubungan omnidirectional, bersahabat, dan seimbang dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Sejak 2019, ketegangan meningkat akibat aktivitas eksplorasi Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia. Oleh karena itu, sengketa BRI dan Laut China Selatan akan digunakan sebagai dua variabel kunci untuk menilai strategi Putrajaya terhadap Republik Rakyat China (RRC) selama masa jabatan kedua Perdana Menteri Mahathir dari Mei 2018 hingga Februari 2020. Untuk menghadapi beberapa konflik yang ada dengan China di wilayah Laut China Selatan, Malaysia memanfaatkan strategi dalam Belt and Road Innitiative. Selain itu Malaysia juga menggunakan perlindungan dengan strategi lindung nilai (Hedging). Lindung secara konseptual menantang dikotomi yang negara-negara yang lebih kuat, paling tidak terhadap biasanya ketat antara balancing dan bandwagoning, ketidakpastian dan risiko yang ditimbulkan oleh perilaku dalam keseimbangan teori kekuasaan neorealis.
Dalam hal tersebut Malaysia sebagai negara pesisir telah mengadopsi hedging sebagai strategi terbaik untuk mengadopsi isu dan tantangan dalam isu LCS. Anggota negara ASEAN dan sebagai organisasi regional entah bagaimana dipaksa untuk mengadopsi paksaan China untuk menyeimbangkan ekonomi domestik, tekanan politik dan stabilitas sosial. Namun dalam hal menghadapi China, Malaysia juga tetap memerluka bantuan negara besar lagi, terutama dukungan dari negara ASEAN.
Dr. Wong Chooi Yee menjelaskan tentang tentang perimbangan kekuatan militer negara-negara di ASEAN dan Asia. Dimana menurut pandangan Dr. Wong, tidak boleh ada negara yang terlalu mendominasi di kawasan tersebut, karena hal ini akan menganggu stabilitas perdamaian dan keamanan yang telah terjaga selama ini, hal ini seperti China yang dewasa ini muncul sebagai negara adidaya baru, dimana hal tersebut menimbulkan potensi konflik dengan negara-negara di Asia dan juga negara di kawasan ASEAN dengan konflik di Laut China Selatan.
Sementara dalam paparannya Prof Ruhanas membahas beberapa solusi yang dapat di lakukan dalam konflik Laut China Selatan. Solusi pertama yang dibahas yaitu permintaan China yang ingin menyelesaikan sengketa tersebut secara bilateral. Opsi ini cenderung tidak disukai oleh negara-negara yang terlibat karena kondisi yang tidak seimbang antara China dan negara-negara terkait.
Solusi kedua yaitu adanya keterlibatan ASEAN dalam menyelesaikan masalah di dalam konflik Laut China Selatan. Melalui proses Code of Conduct (CoC) diharapkan dapat memberikan penyelesaian yang lebih damai dalam konflik di Laut China Selatan. ASEAN juga dapat memanfaatkan forum ADMM untuk melakukan diplomasi terhadap China. Secara geografis ASEAN merupakan pusat dari rute perdagangan dunia. Geopolitik ASEAN sangatlah kompleks. Namun demikian ASEAN masih mampu menahan situasi berbahaya yang timbul dari meningkatnya keteganagan di kawasan Laut China Selatan. Menurutnya intervensi pihak luar tidak bisa menjadi solusi karena dikhawatirkan dengan adanya intervensi dari luar justru akan membuat kondisi di Laut China Selatan semakin kompleks.
Salah satu solusi yang dianggap dapat menguntungkan negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan yaitu di bentuknya kerja sama fungsional. Untuk membentuk kerja sama fungsional tetap harus menentukan permasalahan kedaulatan terlebih dahulu.
Konflik Laut China Selatan saat ini tidak lagi hanya menyangkut klaim teritorial yang tumpang tindih namun meluas pada ruang lingkup dan aktor yang terlibat serta isu yang diangkat tidak hanya terkait isu kedaulatan tapi juga rivalitas kekuatan. Namun bagaimana pun harus tetap optimis terhadap upaya yang telah dilakukan dapat memberikan hasil yang damai dengan cara yang diplomatis. Karena alternative lainnya adalah peperangan.
Turut bergabung dalam KKLN online FSP Unhan RI beberapa Dosen Diplomasi Pertahanan serta para Sekretaris Prodi FSP Unhan RI.