Bogor – Mahasiswa Program Studi Prodi Strategi Pertahanan Laut (SPL), Peperangan Asimetris (AW), Strategi dan Kampanye Militer (SKM), Diplomasi Pertahanan (DP) Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) melaksanakan Kegiatan Kuliah Kerja Luar Negeri (KKLN) hari ketiga dipimpin oleh Dekan FSP Unhan RI Mayjen TNI Dr. Deni D.A.R, S.Sos., M.Si (Han) didampingi Wakil Dekan Fakultas Strategi Pertahanan Unhan RI Brigjen TNI Sammy Ferrijana, S.Sos., M.Si melalui daring zoom meeting. Rabu, (30/6).
Kegiatan KKLN Prodi Strategi Pertahanan Laut (SPL) hari ketiga menghadirkan narasumber Dosen Universitas Pertahanan Nasional Malaysia (UPNM) Dr. Wong Chooi Yee mengangkat topik “Sea Power in Addressing Military Threats in the South China Sea 2 :Malaysia’s Policy and mitigations efforts.” Atau “Kekuatan Laut dalam Mengatasi Ancaman Militer di Laut Cina Selatan 2: Kebijakan dan upaya mitigasi Malaysia”, bertindak sebagai moderator Dosen Tetap Prodi SPL Unhan RI Kolonel Laut (S) Dr. Moh Ikhwan Syahtaria, ST., SE., MM.
Sementara KKLN Prodi Peperangan Asimetris (AW) FSP Unhan RI menghadirkan narasumber dari UPNM Lecturer Dr. Norhazlina Fairuz Musa Kutty dengan topik “BRI: Malaysia’s Response to The Belt and Road Initiatives”, selaku moderator Dr. F. G. Cempaka Timur, S.IP., M.Si (Han).
Prodi Strategi dan Kampanye Militer (SKM) FSP Unhan RI KKLN menghadirkan narasumber dari UPNM Lecturer, yakni Prof. Madya Adam Leong dengan topik “The Arms Race in the South China Sea 2: Malaysia’s Policy and mitigations effort”, dipandu moderator Kolonel Lek Dr. (Cand) Haposan Simatupang, M.Si (Han) CIQnR.
KKLN Prodi Diplomasi Pertahanan (DP) FSP Unhan RI menghadirkan narasumber Dosen Universitas Pertahanan Nasional Malaysia (UPNM) Prof. Ruhanas Harun dengan topik “Malaysian Defence Diplomacy in the South China Sea : policy and mitigation efforts”, selaku moderator Prof. Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D.
Dr. Norhazlina Fairuz Musa Kutty menjelaskan bahwa Ketegasan China terhadap tetangganya di Laut China Timur dan Selatan telah menjadi topik yang banyak diperdebatkan di media internasional dan literatur akademis. Setelah bertahun-tahun relatif tenang, perselisihan semakin tajam selama beberapa tahun terakhir. Klimaks awal terjadi pada tahun 2015, ketika China mendirikan sejumlah pulau buatan di Laut China Selatan yang saat ini dilengkapi dengan pelabuhan dan bandara. Ini kemungkinan besar diarahkan untuk mendukung kekuatan militer China dan memungkinkan penjaga pantai China untuk lebih menegakkan hukum China di wilayah yang disengketakan. Dapat dikatakan bahwa China menggunakan kebijakan ‘memecah belah dan memerintah’ yang bertujuan untuk melemahkan solidaritas lawan satu sama lain dan membangun poros depan bersatu ke Asia, yang samasama dapat memenuhi syarat sebagai pemicu reposi China. Untuk menanggapi segala provokasi dari China, Malaysia lebih memilih untuk mengacuhkan, diam, dan tetap mengedepankan konsep “We are Group” dengan China. Malaysia juga meyakini bahwa pengakuan China didasarkan pada kemampuan politik dan ekonomi suatu negara.
Dr. Wong Chooi Yee banyak menjelaskan tentang pandangan negara Malaysia terhadap konflik di Laut China Selatan, dimana Malaysia merupakan negara yang mementingkan dialog antar negara dibandingkan terlibat konfrontasi militer. Malaysia tetap berpatokan pada Hukum internasional dan UNCLOS 1982 yang telah menetapkan batas-batas territorial laut dan ZEE setiap negara. Walaupun China di anggap melanggar hukum tersebut, namun Malaysia tetap mengedepankan penyelesaian secara diplomatis.
Sementara Prof. Madya Adam Leong dalam materinya menjelaskan ambisi China dalam hegemoni di asia tenggara telah meningkatkan kompetisi di negara sekitar. Seperti Malaysia, yang juga saat ini memiliki ancaman pada keamanan nasional Malaysia, antara lain ketidakstabilan yang terus meningkat sebagai dampak dari kondisi penurunan ekonomi saat ini, kehadiran imigran ilegal, perkembangan ancaman narkotika, meningkatnya polarisasi SARA, ekstrimis keagamaan, ancaman komunis internal, dimensi transnasional dari konflik inter-etnik di negara tetangga, meningkatya konflik dari klaim wilyah ZEE. Tiga pilar kebijakan pertahanan Malaysia diantaranya concentric defence, comprehensive defense, credible partner.
Dalam paparannya Prof Ruhanas membahas Diplomasi Pertahanan Malaysia di Laut China Selatan merujuk pada kebijakan dan upaya mitigasi yang mereka lakukan. Pada presentasinya, Prof Ruhanas menjelaskan bahwa isu keamanan non tradisional menjadi sangat popular dibicarakan setelah berakhirnya perang dingin. Banyak sekali isu atau masalah yang dianggap sebagai isu keamanan sehingga negara-negara akhirnya mengadopsi kebijakan “sekuritisasi” untuk melindungi keamanan nasional mereka. Beberapa isu yang dibahas oleh Prof Ruhanas dalam presentasinya yaitu isu piracy (pembajakan), teroris, imigran ilegal, dan isu perikanan.
Secara singkat Prof Ruhanas menjelaskan mengenai ancaman pembajakan kapal di kawasan Laut China Selatan. Ia mengatakan bahwa secara geografis kondisi di Laut China Selatan dan Selat Malaka sangat menguntungkan bagi para pembajak. Medan yang tidak rata serta banyaknya pulau dan teluk menjadi tempat yang strategis untuk para pembajak untuk bersembunyi dan melarikan diri. Tingginya aktifitas perdagangan yang terjadi di Laut China Selatan juga mengundang perhatian para pembajak untuk melakukan perampokan dan pembajakan kapal di kawasan tersebut.
Selain pembajakan kapal, ancaman teroris juga terjadi di kawasan tersebut. Selama bertahun-tahun kelompok Abu Sayyaf sudah beroperasi di sekitar perairan Sabah dan Filipina selatan. Mereka menjadi ancaman terhadap penduduk lokal dan turis yang berada di kawasan tersebut. Bulan Januari 2020 delapan orang nelayan Malaysia di culik oleh militant dari kelompok Abu Sayyaf dan hingga saat ini sebagian telah diselamatkan dan sebagian lainnya masih menjadi tawanan. Selain itu, ancaman seperti imigran ilegal serta illegal fishing menjadi ancaman di kawasan Laut China Selatan. Demi menjaga keamanan dari ancaman-ancaman tersebut, Malaysia memberikan wewenang kepada Angkatan Bersenjata Malaysia yang memiliki tanggung jawab antara lain mempertahankan dua daratan Malaysia, zona maritime, jalur air strategis, wilayah udara, dan jalur komunikasi. Melindungi kedaulatan, menjaga kemerdekaan dan mencegah campur tangan pihak luar. Mempertahankan kesejahteraan Malaysia dengan mendorong kemakmuran ekonomi dan pembangunan. Sebagai negara pesisir, kebijakan Malaysia di ranah maritim adalah melanjutkan kerjasama dengan negara pengguna, memperkuat kapasitas, menjaga keselamatan maritim dan keamanan navigasi di laut sekitarnya. Malaysia juga menghindari terjerat di dalam rivalitas antar negara major power.
Turut bergabung dalam KKLN online FSP Unhan RI beberapa Dosen Diplomasi Pertahanan serta para Sekretaris Prodi FSP Unhan RI.
Mengetahui: Kabag Humas Unhan RI.