Bogor – Prodi Industri Pertahanan FTP Unhan RI melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Standardisasi Teknologi Pertahanan dari Perspektif TNI, Industri Pertahanan dan Pemerintah” dibuka oleh Dekan Fakultas Teknologi Pertahanan Mayjen TNI Susilo Adi Purwantoro S.E., M.Eng.Sc., CIQnR., CIQaR., IPU melalui daring zoom meeting. Selasa (29/6).
Kegiatan Focus Group Discussion Prodi Industri Pertahanan mengundang dua narasumber antara lain Donny Purnomo Effyandono Sekretaris Jenderal Komite Akreditasi Nasional dengan topik ”Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional: Potensi Penerapannya dalam Kebijakan Industri Pertahanan” dan Letjen TNI (Purn) Dr. Yoedhi Swastanto, M.B.A Kepala Bidang Litbang Yasa dan Standardisasi Komite Kebijakan Industri Pertahanan dengan topik ”Standardisasi Dasar Membangun Kemajuan Berkelanjutan”.
Dekan FTP Unhan RI dalam sambutannya menyampaikan bahwa dinamika perkembangan lingkungan strategis telah menciptakan spektrum ancaman, tantangan dan resiko yang kompleks. perkembangan lingkungan strategis yang tidak dapat diprediksi tentunya perlu disikapi secara cepat, tepat dan komprehensif. oleh sebab itu kementeriaan pertahanan republik indonesia dalam rangka pembangunan kekuatan pertahanan negara telah menyusun pokok pokok kebijakan pertahanan negara pada tahun 2021 yang meliputi pertama, melanjutkan penanganan pandemi covid-19, melalui peningkatan kapasitas pertahanan berupa sarana prasarana serta layanan kesehatan rumah sakit kemhan dan tni. Kedua, penyiapan sumber daya manusia pertahanan negara melalui pembentukan program sarjana S1 Unhan RI. Ketiga, penguatan fungsi pembinaan sumber daya pertahanan dan pembangunan cadangan logistik nasional. Keempat, melanjutkan pembangunan postur TNI untuk pemenuhan kekuatan pokok melalui modernisasi alutsista matra darat laut dan udara, serta pengembangan personel dengan menerapkan prinsip kebijakan right sizing dan proportional grows disesuaikan dengan pengembangan satuan TNI. Kelima, pembentukan komponen cadangan matra darat, matra laut serta matra udara yang disesuaikan dengan kebutuhan matra untuk memperkuat komponen utama. Keenam, penguatan kerjasama pertahanan dan keamanan khususnya dengan negara-negara asean dan kawasan pasifik selatan. Ketujuh, penguatan pertahanan di wilayah–wilayah selat strategis dengan memperkuat coastal misile defence system dan coastal survillance system. Kedelapan, pengembangan industri pertahanan nasional melalui peningkatan promosi kerjasama dan mengimplementasikan kebijakan imbal dagang, kandungan lokal dan offset untuk meningkatkan kemampuan industri. dan terakhir Kesembilan, pembangunan wilayah pertahanan yang bertumpu pada pulau-pulau besar secara mandiri, dengan penyiapan cadangan pangan, air, energi dan sarana prasarana nasional lainnya guna mewujudkan pusat pusat logistik pertahanan yang tersebar di seluruh NKRI.
Pengembangan kekuatan alutsista (alat utama sistem persenjataan) melalui industri pertahanan merupakan salah satu pokok kebijakan yang sangat penting dan strategis dalam rangka menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara kesatuan republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa. Pengembangan alutsista yang berteknologi modern menjadi kebutuhan bagi suatu bangsa indonesia agar memiliki daya penggentar (detterent effect) dan disegani oleh kawan maupun lawan.
Keberadaan alutsista tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi militer serta dukungan dari tiga pilar yaitu industri pertahanan, pemerintah dan stakeholder terkait. Potensi indonesia dalam pengembangan alutsista sangat besar terbuka lebar. Hal ini diwujudkan dengan banyaknya komoditi militer yang telah mampu diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri. agar komoditi militer yang diproduksi oleh bangsa indonesia dapat berdaya saing tinggi tentunya diperlukan standardisasi militer Indonesia.
Tujuan standardisasi untuk memastikan tiga hal dalam level berbeda. Level tersebut diantaranya compatibility, interchangeability dan commonality. Compatibility merupakan kesesuaian produk, proses atau layanan untuk digunakan bersama dalam situasi kondisi tertentu untuk memenuhi persyaratan operasional tanpa menyebabkan interaksi yang salah. interchange ability adalah kemampuan satu produk, proses, atau layanan untuk digunakan sebagai pengganti produk lain dalam memenuhi persyaratan operasional yang sama. Sementara itu commonality merupakan penggunaan doktrin, prosedur atau peralatan yang sama.
Pada konteks industri pertahanan, standardisasi agar melibatkan berbagai aktor yaitu industri pertahanan, pemerintah dan stakeholder termasuk akademisi.
Melalui Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Industri Pertahanan diharapkan ada pandangan dan gagasan baru serta mampu melahirkan suatu kebijakan terkait standardisasi teknologi pertahanan di Indonesia.
Kegiatan FGD ini diikuti oleh Pejabat Eselon I, II, III Unhan RI, Mahasiswa S3 Unhan RI, Mahasiswa IP, Alumni IP, Perwakilan Mitra dan Anggota dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).